Kota Layak Huni di Indonesia (Jawa)

Labiqul Aqil
8 min readNov 22, 2023

--

Jalan depan Curug Sikarim, Sembungan, Wonosobo (koleksi pribadi)

Beberapa waktu lalu, sebuah infografik viral di media sosial menyajikan tabel atau matriks “kota layak huni di Indonesia” berdasarkan laporan dari Ikatan Ahli Perencanaan (IAP). Menurut infografik tersebut, Surakarta atau Solo menduduki peringkat tertinggi, terutama dalam hal indeks fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan, ketahanan pangan, energi, dan jaringan komunikasi. Disusul Kota Yogya, Cirebon, Magelang, Semarang, Kediri, Mataram, Pangkalpinang, Samarinda, Banjarmasin.

Namun, saya memiliki pandangan yang berbeda. Saya tidak memasukkan Solo dalam daftar saya karena menurut saya kota ini memiliki jalan yang sulit dihafal, h̶a̶n̶y̶a̶ ̶j̶a̶l̶a̶n̶ ̶m̶e̶n̶u̶j̶u̶ ̶d̶i̶n̶a̶s̶t̶i̶ ̶k̶e̶k̶u̶a̶s̶a̶a̶n̶ ̶s̶a̶j̶a̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶m̶u̶d̶a̶h̶ ̶d̶i̶t̶e̶m̶p̶u̶h̶ ̶d̶i̶ ̶k̶o̶t̶a̶ ̶i̶n̶i̶. Bagi saya yang gemar bepergian, kemudahan mengingat jalan merupakan indikator penting bagi suatu kota mendapat predikat “layak huni”.

Hal serupa juga berlaku untuk Yogyakarta. Kota Yogya tidak saya masukkan daftar sebab kemacetan yang begitu parah di banyak titik, juga banyak lampu merah yang sangat berdekatan — mungkin ini juga penyebab kemacetan. Sebagai seorang yang pernah tinggal satu tahun lebih di kota ini, bahkan sebagai driver layanan pesan-antar makanan selama tiga bulan, saya memiliki catatan tersendiri terkait hal ini. Belum lagi soal kepadatan penduduk, UMR rendah, klitih, sampah, transportasi umum, tentu masih banyak masalah yang menjadi perhatian.

Dari sini lah saya kemudian ingin membuat daftar “kota layak huni” versi pribadi saya, dengan indeks yang berasal dari pengalaman berkunjung atau tinggal saya pribadi.

Hampir semua kota di pulau Jawa pernah saya kunjungi, menyisakan Sukabumi dan Cianjur (di Jawa Barat), Wonogiri (di Jawa Tengah), dan Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Jember, Situbondo, Bondowoso dan Banyuwangi (di Jawa Timur). Saat ini, saya tinggal di Pati setelah tujuh tahun merantau di berbagai daerah, dan kota paling barat dan timur yang pernah saya kunjungi adalah Palembang dan Probolinggo.

Pilihan “kota layak huni” saya terbatas pada Jawa, dengan pertimbangan kebahasaan dan kebudayaan. Oleh karena itu, kota di Jawa Barat, Banten, dan Jakarta tidak termasuk dalam daftar saya. Lampung, meskipun mayoritas suku Jawa, tidak masuk karena kunjungan saya hanya sekali di tahun 2013 dengan kesan yang kurang baik. Dan tentu saja misal ketika saya tinggal di Lampung, ongkos untuk ‘pulang’ ke Pati — mudik misalnya — pasti akan sangat mahal.

Mengapa juga Pati tidak saya masukkan, padahal sudah saya tinggali belasan tahun, saya juga memilih kata ‘pulang’ untuk kota ini meski saya akan hidup berumah tangga di luar Pati ketika dewasa nanti? Jawaban pertama adalah sebab SUMUK— pesisir. Kemudian soal akses transportasi yang sangat buruk; jalan banyak yang rusak — jalan di Kec Batangan bertahun-tahun hancur macet; transportasi umum hampir tidak ada, stasiun mati, terminal bus hanya hidup segan, jalan tol tidak lekas dibangun, jangan pernah bermimpi bandara dibangun di kota ini.

Jika tidak memiliki keahlian bertani — di sawah maupun tambak — tidak ada alasan untuk tinggal di Kota ini. Karena memang akses terhadap pekerjaan tidak semudah kota-kota tetangga seperti Kudus maupun Jepara. Begitu juga akses terhadap pendidikan, jumlah perguruan tinggi misalnya, hanya bisa dihitung dengan jari. Sulit untuk tinggal di kota ini jika memang Anda bukan petani. “Pati Bumi Mina Tani”.

Lalu kota mana saja yang menurut saya “layak untuk dihuni”???

1. Semarang (atas)

Saya beri kata “atas” dalam tanda kurung sebab tidak semua wilayah di Kota Semarang “layak” ditinggali. Daerah pantura seperti Genuk, Semarang Barat, Semarang Utara, Tugu tentu tidak jauh berbeda SUMUKnya dengan Kota Pati, bahkan melebihi, (beberapa sumber menyebutkan titik terpanas di Jawa ada di Semarang). Hal ini ditambah persoalan land subsidence atau penurunan muka tanah menjadikan Semarang daerah pantura tidak masuk dalam wilayah yang “layak huni”.

Semarang “atas” yang saya maksud di sini adalah wilayah selatan, seperti Mijen, Gunungpati, Banyumanik, Tembalang yang jauh dari kedua masalah tersebut. Sebagai seorang yang pernah tinggal empat tahun lebih di Gunungpati, tentu saya mengunggulkan wilayah ini, bukan semata-mata pernah tinggal namun ada beberapa alasan.

Semarang atas masih asri, banyak wilayah-wilayah pedesaan, yang adem dan jauh dari panas dan polusi , namun masih dekat dengan wilayah perkotaan. Transportasi umum dipermudah dengan adanya BRT, Stasiun, dan Bandara, maklum saja sebab Semarang ibu kota Provinsi. Intensitas hujan di Semarang atas juga tergolong cukup tinggi. Pendapat saya mengenai Kota Semarang atas ini juga mungkin dapat digunakan untuk wilayah barat laut Kabupaten Semarang.

Nilai plus bagi Semarang yang tidak akan dimiliki di kota “layak huni” berikutnya adalah karena Semarang paling mudah dijangkau dari kota Pati, hanya 2–2,5 Jam dengan kendaraan pribadi. Ditambah karena banyak saudara saya tinggal di kota ini, sebab bapak saya berasal dari Mranggen Demak, 10 KM ke timur dari Undip Tembalang.

2. Malang

Satu kata untuk mengambarkan Malang, “Komplit”. Jika Anda ingin menempuh pendidikan seperti Yogya, malang tidak kalah. Jika Anda ingin berwisata di pantai, Malang menyediakan. UMK Kota Malang dan Kabupaten Malang bahkan lebih tinggi daripada ibu kota provinsi Jawa Tengah. Malang juga tidak SUMUK dan tidak ada isu penurunan permukaan tanah seperti Kota Semarang. Bahkan hasil bincang-bincang saya dengan beberapa kawan, industri kreatif di Malang juga lebih maju daripada di Semarang.

Yang paling penting tentu masih seperti Semarang, Kota Batu dan Kabupaten Malang, tetap mempertahankan keasriannya dengan banyak desa yang teduh dan terhindar dari SUMUK serta polusi. Meskipun begitu, tetap berada dalam jangkauan dekat dengan kawasan perkotaan.

Jika nilai plus dari Semarang adalah karena kedekatannya dengan Pati, maka Malang adalah kebalikan, paling jauh dari Pati dan perlu menempuh tujuh jam perjalanan, tentunya ini menjadi nilai minus. Namun sebagai penawarnya, Malang malah lebih dekat dengan Pasuruan, rumah calon istri saya. Jarak Malang ke Pasuruan lebih dekat dibandingkan dengan Pati ke Semarang.

Meski saya belum pernah tinggal di Malang, namun Malang menjadi kota yang sering saya kunjungi. Jika tidak berkesempatan tinggal di Semarang, maka Malang menjadi pilihan selanjutnya. Saya selalu siap mencoba segala macam kuliner Bakso di Malang, meski kecapnya tidak seenak Kecap Lele.

3. Kediri

Saya pernah tinggal di Kediri barang dua bulan, Januari dan Maret 2021. Kunjungan saya di Kediri sudah bisa ditebak, belajar bahasa Inggris di Pare. Meski hanya dua bulan, namun saya memiliki kesan yang sangat baik. Keindahan alamnya hampir mirip dengan Malang, maklum sebab kedua kota ini bertetangga. Kediri adalah alternatif dari Malang.

Bersama dengan Malang, Kediri menjadi kota “layak huni” di Jawa Timur menurut IAP dan saya setuju. Tidak seperti Solo yang berkali-kali lewat jalan-jalan besar masih tidak membuat saya hafal, di Kediri beberapa kali saja saya bisa menghafal jalan menuju Malang, menuju Mojokerto, Jombang, Nganjuk. Masalah mengapa saya sulit menghafal jalan di Solo sebenarnya masih menjadi pertanyaan.

Yang tidak boleh terlupakan dari Kediri adalah tingkat biaya hidup yang sangat terjangkau, terutama dalam hal makanan. Saat berada di Pare, saya menemui nasi + lele goreng satu porsi dengan dua ekor lele yang dibandrol dengan harga enam ribu, sementara nasi dan mie dijual seharga lima ribu (padahal di warung termurah di dekat rumah Pati, lima ribu hanya cukup untuk mendapatkan mie). Untuk pecel lele lamongan, harga sepuluh ribu, lengkap dengan sambel khas Lamongan masih saya anggap terbaik di Pare Kediri — harga ini memang terasa tidak masuk akal! Selain itu, para penjualnya juga sangat ramah dan dengan akrab dengan para pembeli.

Saya tidak tahu apakah ini hanya saya temui di tahun 2021?. Meskipun agak melankolis, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih karena Kediri selalu merespons kehadiran saya dengan baik.

4. Wonosobo

Jika tiga kota sebelumnya masing-masing memiliki kota dan kabupaten secara administratif, berbeda dengan Wonosobo yang hanya memiliki kabupaten. Kota kecil yang terletak di tengah pulau Jawa ini terasa spesial bagi saya pribadi, mungkin ini sangat-sangat bias, karena saya hanya ke sini dengan alasan yang selalu sama “LIBURAN”. Jumlah liburan saya ke kota ini juga cukup sering, bahkan jika dihitung jumlahnya tiga kali lebih banyak dari jumlah SMAN di kota Pati.

Damai, sejuk, tentram, tenang, asri, ramah, sumeh, adem ayem, guyub adalah berbagai istilah yang menggambarkan kota “di atas awan” ini. Setiap berkunjung ke sini saya selalu merasa sedang “pulang”, padahal ingatan masa kecil saya tidak beririsan sama sekali dengan kabupaten ini. Satu-satunya hal yang saya ingat di masa kecil tentang Wonosobo adalah, burung merpati balap yang diberi oleh saudara saya mranggen, katanya merpati tersebut dibeli dari daerah Kalibeber Mojotengah Wonosobo.

Untuk ketenangan, kesejukan, dan keamanan, mungkin memang Wonosobo menjadi yang terdepan. Namun, menyebut suatu kota sebagai “layak huni” tidak hanya bergantung pada faktor tersebut. Ada aspek lain seperti akses pendidikan, transportasi, kondisi ekonomi, dan sebagainya yang mungkin belum seoptimal tiga kota yang telah disebutkan sebelumnya. Selain itu, biaya hidup di Wonosobo tidak seekonomis di Kediri, mungkin karena Wonosobo sudah terkait erat dengan citra sebagai kota wisata.

Tidak heran jika kota ini mendapatkan predikat tersebut, hampir setiap daerah di Wonosobo menjadi destinasi wisata tersendiri, mulai dari dataran tinggi Dieng, gunung, curug, telaga, pemandian air hangat, hingga candi — semua tidak bisa disebutkan satu persatu. Jika saya hafal nama-nama kecamatan di Pati karena saya lahir dan besar di sana, maka saya juga hafal nama-nama kecamatan di Wonosobo karena sering mengunjunginya.

5. Bukan Yogya

yap, seperti di awal tulisan ini, bahwa kemacetan, padatnya penduduk, terlalu banyak lampu merah, klitih, dan sampah menjadi alasan bahwa Yogya tidak saya masukkan kota “layak huni”. Namun kabupaten di Provinsi D.I Yogyakarta lah yang saya anggap layak masuk ke dalam kategori tersebut — Sleman, Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul. Tapi, agar bisa lebih relevan saya pilih Sleman dan Bantul karena dua kabupaten ini yang paling dekat dengan Kota Yogya.

Ini seperti sebuah siasat seperti saat saya memilih Semarang atas, agar bisa tetap tinggal di desa yang masih banyak sawah dengan akses yang tidak jauh dari kota. Nah, sebab pemukiman di Kota Yogya sudah padat maka saya memilih untuk menepi di Sleman (jika di Utara), dan Bantul (jika di Selatan).

Jika Anda menginginkan hunian di daerah pegunungan dekat Gunung Merapi, Sleman adalah pilihan yang tepat. Daerah seperti Ngemplak, Turi, Pakem, dan Cangkringan akan memanjakan pagi Anda dengan keindahannya. Namun, jika Anda lebih suka tinggal di daerah yang dekat dengan laut, seperti pantai Parang Tritis, misalnya, maka Bantul menjadi opsi yang cocok. Saya sendiri merasakan vibes Jogja ketika beberapa bulan tinggal di Sewon, Bantul.

Keberagaman adalah alasan utama dan nilai positif mengapa daerah Yogyakarta “layak dihuni”. Banyak pendatang dari luar kota yang menetap di Yogya, seperti orang Madura yang mendominasi warung kelontong, orang Sunda yang menguasai usaha warmindo, dan penduduk dari Pati yang juga aktif berdagang sembako. Hal ini penting agar kita tetap dekat dengan saudara kita. Saya memiliki lebih dari lima tetangga yang merantau dan tinggal di Bantul, dan tiga orang di antaranya memilih untuk menetap di Sleman. Heterogenitias menjadi penting karena berpeluang untuk menjadi ajang pembelajaran dan pertumbuhan bagi sesama manusia.

Tentu, ketika membahas kota “layak huni”, setiap pandangan subjektif memiliki nilai dan pertimbangannya masing-masing. Kriteria yang digunakan bisa bervariasi, seperti yang sudah saya lakukan dalam menentukan tempat tinggal yang ideal. Oleh karena itu, daftar “kota layak huni” versi saya pribadi ini bukanlah suatu “kebenaran”, melainkan pantulan dari pengalaman dan preferensi personal.

Tak ada tempat yang sempurna, namun setiap kota dan daerah memiliki daya tariknya masing-masing. Semua tergantung pada kebutuhan, preferensi, dan pengalaman masing-masing individu. Enjoy

--

--

No responses yet