Wacana Lingkungan dalam Pusaran Gagasan Bacapres 2024: Sejauh Mana Isu Krisis Iklim dan Energi Terbarukan Diperbincangkan

Labiqul Aqil
10 min readOct 21, 2023

--

https://akcdn.detik.net.id/visual/2023/06/05/ilustrasi-capres-2024-2_169.jpeg?w=480&q=90

Pemilihan Umum 2024 merupakan pemilu terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia, dengan jumlah pemilih dari kalangan milenial dan Gen Z yang mendominasi, mencapai 113 juta jiwa, atau 56,45% dari total pemilih. Para pemilih muda ini memiliki pandangan yang kuat terkait isu-isu penting dalam kehidupan mereka, dan salah satu isu yang semakin mendapat perhatian adalah isu lingkungan hidup seperti perubahan iklim dan transisi energi terbarukan. Mereka meyakini bahwa penguasa yang akan terpilih kelak memiliki tanggung jawab besar untuk mengatasi permasalahan lingkungan ini.

Dalam menghadapi Pemilihan Umum 2024, terjadi peningkatan diskursus terkait isu perubahan iklim dan transisi energi. Hal ini terutama dipicu oleh besarnya jumlah pemilih potensial dari kalangan milenial dan Gen Z, yang mendorong kandidat yang bakal bertaruh pada tahun tersebut untuk menggencarkan beragam isu yang menjadi tren di kalangan pemilih muda. Salah satu isu yang mendapat perhatian khusus adalah isu lingkungan hidup dan keadilan ekologis. Mengapa isu lingkungan hidup dan keadilan ekologis menjadi perhatian utama dalam politik dan kebijakan melalui pemimpin yang terpilih kelak?

Alasannya adalah karena dalam konteks “keadaan darurat” lingkungan saat ini, diperlukan kepemimpinan yang kuat yang menempatkan isu lingkungan sebagai prioritas utama dalam cara pandang dan kebijakannya. Menghadapi Pemilihan Umum yang akan berlangsung pada tahun 2024, penting untuk menghindari hanya fokus pada strategi pemasaran atau gimik semata — yang bertujuan untuk menarik perhatian publik, memperoleh dukungan, atau memengaruhi pandangan masyarakat — namun lupa memperhatikan substansi ide dan gagasan yang dibawakan. Tidak dipungkiri bahwa perbincangan mengenai ide dan gagasan masih kalah dengan perbincangan mengenai koalisi dan elite politik.

Panggung Tiga Bacapres: Apa Kabar Isu Lingkungan?

Pemilu 2024 masih beberapa bulan lagi, dan masa kampanye belum dimulai, namun para bakal calon presiden (Bacapres) seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto telah aktif memaparkan visi dan ide-ide mereka dalam acara yang diadakan di Grha Sabha Pramana (GSP), Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada tanggal 19 September 2023. Kegiatan ini dipandu melalui acara “Tiga Bacapres Bicara Gagasan” yang dilaksanakan pada 19 September 2023 dari pukul 15.00 sampai 22.00 WIB. Tiga Bacapres hadir dalam acara tersebut dan menyampaikan pandangan serta gagasan mereka terkait isu-isu yang sedang menjadi perhatian di Indonesia.

Bukan seperti debat publik atau debat antar-Paslon yang biasanya diselenggarakan oleh KPU, yang secara teknis ada pemaparan visi-misi dan program kerja; adanya peran moderator dan panelis; hingga segmen debat dan saling bertanya antar kandidat. Panggung kali ini lebih mirip ‘ujian lisan’ yang dipandu oleh Najwa Shihab tanpa adanya debat dan momen saling bertanya antar Bacapres. Meski acara tersebut bukan agenda dari penyelenggara formal yang diselenggarakan oleh KPU, namun setidaknya perlu diapresiasi karena mampu membuka dialog lebih awal, antara Bacapres dengan berbagai kalangan masyarakat, termasuk mahasiswa, akademisi dan masyarakat umum.

Hal ini untuk memastikan masyarakat lebih memahami gagasan yang mereka sampaikan dan menjadi landasan yang kuat untuk pemilu presiden mendatang. Dalam ajang tersebut kita bisa mengulik bagaimana para Bacapres menyuarakan gagasannya dan dengan hal ini kita mampu melihat wacana apa yang dominan dalam “panggung” tersebut. Apakah isu lingkungan masih menjadi wacana yang marginal?

Dalam panggung Tiga Bacapres Bicara Gagasan, Bacapres hadir bergantian dan masing-masing akan dibagi ke dalam tiga sesi. Pertama, Bacapres akan menyampaikan gagasannya selama 10 menit, yang oleh Najwa disebut dengan “Spill Gagasan”. Kedua, tanya jawab yang dipandu oleh Najwa berdasarkan prioritas topik pilihan yang tersedia via barcode dan diisi oleh audiens. Terakhir, waktu diserahkan kepada audiens untuk tanya jawab antara Bacapres dengan dosen, mahasiswa, dan masyarakat. Tulisan ini akan mencoba menelusuri sejauh mana wacana lingkungan hidup muncul dalam panggung adu gagasan tersebut.

Anies Baswedan dan Dilema Etis Lingkungan dalam Praktik Perdagangan Karbon

Dari ketiga Bacapres, Anies Baswedan menjadi satu-satunya Bacapres yang tidak memasukkan isu lingkungan hidup, perubahan iklim, ataupun energi terbarukan. Dalam penyampaian gagasan atau spill gagasan, Anies menyampaikan gagasan besarnya yang diberi judul kurang lebih “Keadilan dan Kesetaraan”. Anies lebih menekankan lima gagasan mengenai kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, tata niaga atau terkait dengan kebutuhan pokok dasar, dan penegakan hukum.

Namun, gagasan Anies terkait isu lingkungan dapat dijumpai kala sesi tanya jawab dengan audiens, melalui pertanyaan Prof Poppy Sulistyaning Winanti, gagasan Anies kemudian muncul. Prof Poppy bertanya kepada Anies bahwa:

Kita saat ini menghadapi dilema yang kompleks. Di satu sisi, kita memiliki komitmen internasional untuk merespons perubahan iklim. Namun, di sisi lain, sebagai negara dengan pasar energi yang masih sangat tergantung pada energi fosil, kita perlu memperhatikan kepentingan ketahanan energi, yang sebagian besar masih bergantung pada energi fosil, sekitar 80 hingga mungkin 90 persen. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana langkah konkret yang akan diambil oleh Pak Anies menuju energi yang lebih berkelanjutan, terutama di tengah hadirnya berbagai kepentingan dan tantangan, termasuk pengaruh kuat dari industri batubara dan dinamika geopolitik yang melibatkan negara-negara adidaya?”

Setidaknya dari pertanyaan Prof Poppy tersebut, Anies menjawab bahwa, pertama adanya ketidaksinkronisasian antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah terkait penanganan lingkungan hidup. Ketidaksinkronisasian tersebut menjadikan komitmen nasional yang menjadikan beberapa target-target tidak terlaksana. Kedua menurut Anies dalam hal ini perlu melibatkan semua stakeholder termasuk swasta, dan prosesnya panjang untuk mencapai energi baru terbarukan.

Ketiga perlu peran diplomasi terkait pembiayaan global untuk krisis iklim yang bisa diakses indonesia dengan perdagangan karbon (carbon trading). Sebab menurut Anies, Indonesia memiliki kekayaan alam hutan dan kekayaan biologi sehingga dengan mekanisme perdagangan karbon mampu membantu Indonesia mendapatkan bantuan pembiayaan untuk melakukan konversi sumber energi. Terakhir kehadiran negara dalam investasi sumber daya panas bumi, yang dari 40 persennya ada di Indonesia, hingga ketika sudah berjalan baru diserahkan kepada sektor swasta. Dari semua persoalan itu kunci eksekusinya menurut Anies adalah sinkronisasi pemerintah pusat, provinsi dan swasta.

Jawaban Anies yang menarik adalah persoalan perdagangan karbon, dimana perdagangan karbon merupakan kegiatan jual beli sertifikat yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim. Pembeli emisi karbon biasanya negara industri maju, sementara penjualnya adalah negara berkembang dengan hutan yang luas sebagai penyerap karbon dioksida sebagai penjual sertifikat (Sukadri, 2012). Hutan menjadi sasaran utama karena fungsinya sebagai penyerap karbon dioksida. Melalui hutan lindungnya yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, Indonesia merupakan salah satu negara penjual emisi karbon yang aktif.

Perlu diingat bahwa bisnis jual beli karbon di Indonesia tak semudah yang dibayangkan, terdapat carut marut persoalan eksternal yang menimpa bisnis ini, mulai dari keberpihakan pada bisnis perusahaan; kegagalan dalam memenuhi kesejahteraan masyarakat; konflik dengan masyarakat lokal; pengaruh perusahaan kelapa sawit; ketergantungan pada dana asing; ideologi bisnis pro-kapitalisme; dan pertanyaan tentang prioritas utama — apakah cenderung mendukung perusahaan dengan fokus keuntungan pribadi? Perdagangan karbon belum mencapai kesejahteraan masyarakat setempat bahkan sering memicu konflik. Kehadiran perusahaan sawit dan ketergantungan pada dana internasional menciptakan dilema etis dalam praktik perdagangan karbon, mengganggu upaya pelestarian lingkungan dan hak asasi manusia.

Sayangnya, dari sesi tanya-jawab tersebut, tidak ada kesempatan tanggapan dari Prof Poppy, sehingga setelah Anies menyampaikan gagasannya lewat jawaban, otomatis diberikan kesempatan kepada penanya selanjutnya. Hal ini cukup disayangkan tentunya, lagi-lagi isu lingkungan masih jarang dibicarakan, jarang dielaborasi, bahkan ketika dibahas ia hanya menjadi isu yang tidak utama.

Gagasan Ganjar Pranowo: Mengurai Isu Lingkungan dan Energi

Bacapres selanjutnya adalah Ganjar Pranowo. Dalam penyampaian gagasan atau spill gagasan, Ganjar menyampaikan gagasan besarnya yang diberi judul “Gas Pol menuju Indonesia Emas” yang berisi “Enam Pilar Strategis”. Di antaranya yaitu; pangan; lingkungan; energi; digital; pendidikan kesehatan; dan penegakan hukum. Ada dua hal penting yang dapat kita perhatikan dari gagasan ini, yaitu lingkungan dan energi. Ganjar berupaya menyertakan dua poin ini dalam gagasan yang ia bawa. Namun sejauh mana isu wacana lingkungan ini diwacanakan oleh Ganjar melalui gagasannya?

Pertama mengenai kondisi lingkungan yang cukup menarik, Ganjar mengawali dengan menggambarkan eskalasi perubahan iklim global yang semakin buruk, yang berdampak pada peningkatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) akibat tingginya tingkat polusi. Ganjar mendorong komitmen kita terhadap Protokol Kyoto dan Persetujuan Paris, terutama dalam persiapan menghadapi Conference of the Parties (COP) 2023 yang akan diselenggarakan oleh Uni Emirat Arab pada November hingga Desember tahun ini. Ganjar menekankan bahwa di COP 2023, peserta akan ditantang untuk menetapkan roadmap dan komitmen serius terhadap isu perubahan iklim.

“suka tidak suka, mau tidak mau, maka mengurangi gas emisi, ekonomi hijau, ekonomi biru, yang menjadi potensi untuk bisa kita kembangkan, ide yang mesti kita lakukan.” Tambah Ganjar. Namun, gagasan Ganjar tentang lingkungan masih belum cukup jelas, dan belum terlihat bagaimana ia akan mewujudkannya, termasuk bentuk komitmen terhadap Protokol Kyoto dan Persetujuan Paris, serta rencana untuk menghadapi COP 2023 di Uni Emirat Arab.

Protokol Kyoto sendiri adalah perjanjian internasional yang diadopsi pada Konferensi Iklim PBB ke-3 (COP3) di Kyoto, Jepang, pada tahun 1997, yang menitikberatkan pada pengurangan emisi gas rumah kaca dari negara-negara maju (Annex I). Sementara itu, Persetujuan Paris adalah kesepakatan internasional yang diadopsi pada Konferensi Iklim PBB ke-21 (COP21) pada Desember 2015, dengan tujuan utama membatasi peningkatan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat Celsius di atas level pra-industri, dengan upaya untuk membatasinya pada 1,5 derajat Celsius. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita akan berkomitmen pada pengurangan emisi gas rumah kaca dan bagaimana cara kita membatasi peningkatan suhu rata-rata global?

Selain itu, Ganjar membahas konsep ekonomi hijau dan ekonomi biru. Ekonomi hijau berfokus pada perekonomian yang ramah lingkungan, hemat sumber daya alam, dan berkeadilan sosial, sementara ekonomi biru mengutamakan sumber daya laut dengan memperhatikan kesejahteraan dan pelestarian ekosistem laut (ESDM). Namun, lagi-lagi yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana Ganjar akan mewujudkan ide-ide ekonomi hijau dan ekonomi biru yang telah disebut?

Selanjutnya, Ganjar membahas energi sebagai isu krusial, dengan penekanan pada pentingnya energi yang tidak mencemari lingkungan. Ganjar mempertanyakan kesiapan energi terbarukan, seperti tenaga angin dan geothermal, dengan pertanyaan, “Yang renewable yang mana? apakah sudah cukup? belum tenaga anginnya sampai di mana? geothermal sampai di mana? Ini yang menjadi PR.” Namun, pertanyaan akhirnya adalah kepada siapa kita harus mengajukan pertanyaan jika para pemangku kebijakan justru bertanya kepada kita.

Ganjar menambahkan bahwa terdapat dua skenario besar terkait efisiensi energi, yaitu skenario moderat (MOD) yang menargetkan capaian 31,8% pada tahun 2034, dan skenario optimis (OPT) dengan target sekitar 56,9% pada tahun yang sama. Sayangnya, skenario ini didasarkan pada pandangan bisnis yang mengikuti “Business as Usual (BAU).” Ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kita dapat melihat efisiensi energi dari sudut pandang yang berbeda, yakni pelestarian lingkungan.

Prabowo dan Isu Lingkungan: Swasembada Air, Energi, dan Pelestarian Alam

Bacapres terakhir adalah Prabowo. Ia men-spill gagasannya yang diberi judul “Strategi Transformasi Bangsa menuju Indonesia Emas 2045” yang berisi 17 program prioritas, mulai dari; swasembada pangan; memberantas kemiskinan; dan seterusnya hingga Melestarikan seni budaya, peningkatan ekonomi kreatif dan prestasi olahraga. Dari kesemuanya, ada tiga program pilihan Prabowo yang mewacanakan terkait persoalan lingkungan hidup; seperti swasembada air; swasembada energi; dan menjamin pelestarian lingkungan hidup.

Pandangan yang tercantum dalam judul dan poin-poin yang dipresentasikan pada layar proyektor terlihat menarik. Namun, perlu dipertimbangkan sejauh mana Prabowo akan mampu menjalankan dan mewujudkan programnya ini. Sebagai contoh, dalam hal swasembada air, Prabowo memberikan prioritas yang cukup tinggi, bahkan sebagai program yang dipaparkan dengan durasi terlama kedua setelah program hilirisasi industri. Prabowo juga menceritakan bahwa “Kita akan alami krisis air, untuk itu kita harus fokus pada teknologi air. Ada Universitas Pertahanan di bawah pembinaan saya, kita bentuk prodi khusus hidrologi, ada Satgas air dan sudah produksi di mana-mana.”

Menarik apa yang disampaikan Prabowo, bahwa mereka sudah mampu mencari air dengan tepat, dengan drill air sudah dapat produksi di mana-mana. Namun juga perlu diperhatikan bahwa terkadang pengeboran air menimbulkan beberapa persoalan. Seperti ketika air bawah tanah dieksploitasi secara besar-besaran, ini dapat menciptakan persaingan yang sengit untuk akses ke sumber air di antara berbagai pihak, termasuk komunitas lokal dan pertanian. Ini bisa merugikan berbagai pihak yang bergantung pada air tersebut.

Pengeboran air bawah tanah juga seringkali memunculkan masalah terkait penurunan tingkat airtanah. Pengambilan air yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan tingkat airtanah di sekitar area pengeboran, yang pada gilirannya dapat mengganggu pasokan air bagi komunitas yang ada di sekitarnya. Penurunan tingkat air tanah ini sering menjadi sumber konflik, yang mengorbankan masyarakat atau komunitas lokal yang bergantung pada sumber air yang sama untuk kehidupan sehari-hari mereka.

Selain program swasembada air, Prabowo juga mencanangkan program swasembada energi dan pelestarian lingkungan hidup. Sayangnya, dalam presentasinya, Prabowo tidak memberikan penjelasan mendalam tentang kedua program ini. Setelah menguraikan program swasembada air, Prabowo langsung beralih ke pembahasan mengenai penyempurnaan keuangan negara. Namun, program menjamin pelestarian lingkungan hidup tidak diberikan penjelasan lebih lanjut karena waktu presentasi Prabowo sudah habis, dan sesi berikutnya akan berfokus pada tanya jawab berdasarkan topik prioritas.

Gagasan Prabowo terkait isu lingkungan belum menyentuh persoalan perubahan iklim atau energi terbarukan. Selain 17 program prioritas, Prabowo masih memiliki 8 program hasil cepat, namun isu lingkungan juga tidak terlihat sama sekali. Bahkan, gagasan Prabowo tetap dominan dalam wacana perekonomian, keuangan, dan industrialisasi. Sementara tantangan krisis iklim yang semakin mendalam dan urgensi energi terbarukan semakin meningkat, menggarisbawahi bahwa persoalan lingkungan dan perlindungan sumber daya alam seharusnya memiliki prioritas yang lebih tinggi untuk memastikan keberlanjutan masa depan yang berkelanjutan dan seimbang.

Uniknya, dalam panggung tiga Bacapres Bicara Gagasan ini, topik lingkungan hanya masuk dalam urutan ke empat dari enam prioritas pilihan baik dalam sesi Anies, Ganjar, maupun Prabowo. Sedangkan urutan masing-masing urutan pertama adalah korupsi dan penegakan hukum. Padahal menurut survey Yayasan Indonesia Cerah (2021), preferensi kalangan milenial dan Gen Z adalah isu lingkungan dan perubahan iklim. Isu perubahan iklim bahkan bertengger di urutan kedua dalam kategori isu atau masalah yang paling dikhawatirkan pemilih muda setelah isu korupsi di urutan pertama.

Mengarusutamakan Isu Lingkungan dalam Wacana Politik Pemilu 2024

Wacana terkait lingkungan hidup, keadilan ekologis, perubahan iklim, dan energi terbarukan perlu terus digencarkan agar politikus dan pemimpin bangsa dapat lebih sensitif terhadap aspirasi generasi muda yang semakin peduli terhadap masa depan planet ini. Meskipun isu korupsi dan penegakan hukum penting, jangan sampai mengesampingkan isu-isu lingkungan yang menjadi kekhawatiran serius bagi banyak generasi muda. Ini adalah momen penting untuk mengarusutamakan dan memberikan prioritas yang lebih banyak pada isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan dan perubahan iklim, mengingat dampak global yang semakin nyata dari krisis lingkungan.

Sebagai disclaimer, tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum tentang wacana politik terkait perubahan iklim dan transisi energi menjelang Pemilu 2024. Harapannya adalah agar pemilih dapat lebih memahami sejauh mana isu-isu ini diperjuangkan oleh bakal calon presiden dan partai politik yang mengusungnya, dan bukan untuk mengarahkan pembaca untuk memilih bakal kandidat atau partai politik tertentu. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu lingkungan ini, pemilih dapat membuat keputusan yang lebih berdasarkan informasi dalam menjaga masa depan lingkungan dan masyarakat Indonesia.

Wacana tentang lingkungan hidup, perubahan iklim dan energi terbarukan dalam konteks adu gagasan bakal calon presiden merupakan aspek penting dalam demokratisasi dan pemilihan umum. Isu tersebut memiliki dampak signifikan pada masa depan kita, sehingga penting bagi kita semua untuk memahami sejauh mana komitmen bakal calon penguasa dalam menangani masalah ini. Mengikuti perkembangan wacana lingkungan hidup dalam penyampaian gagasan dan pidato politik adalah langkah esensial untuk memahami arah kebijakan dan visi yang akan membentuk masa depan masyarakat kita. Sayangnya, masih terdapat kurangnya perhatian terhadap isu lingkungan, bahkan sering kali diabaikan dan dimarginalkan sebagai isu yang bukan prioritas utama dalam wacana politik.

--

--

No responses yet